Kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) sebagai tanaman penghasil minyak sawit dan inti sawit merupakan salah satu tanaman perkebunan unggulan yang menjadi sumber devisa negara non migas bagi Indonesia. Cerahnya prospek komoditas minyak sawit dalam perdagangan minyak nabati dunia mendorong pemerintah Indonesia untuk menggairahkan pengembangan ekspor minyak sawit.
Pengembangan perkebunan kelapa sawit terutama dibangun di Kalimantan, Sumatera, Sulawesi dan Irian Jaya. Komoditas kelapa sawit dengan produk primer Minyak sawit mentah (Crude Palm Oil/CPO) dan Kernel Palm Oil (KPO) berperan penting dalam perekonomian nasional, memberikan kontribusi terhadap perolehan Produk Domestik Bruto (PDB) mencapai 20 triliun rupiah setiap tahunnya. dan cenderung terus meningkat dari tahun ke tahun. Selain itu, komoditas kelapa sawit menyerap banyak tenaga kerja dan berperan penting dalam mendorong tumbuhnya pusat-pusat ekonomi baru di daerah berkembang.
Perkembangan produktivitas kelapa sawit di Indonesia selama periode 2000-2011 menunjukkan pola yang agak fluktuatif. Produktivitas kelapa sawit tertinggi terjadi pada tahun 2007 sebesar 3.619 kg/ha, namun kembali menurun pada tahun berikutnya. Pada tahun 2011, produktivitas kelapa sawit adalah 3.450 kg/ha.
Sejalan dengan perkembangan dan perluasan areal perkebunan yang semakin berkembang, petani seringkali menghadapi berbagai hama dan penyakit yang menyerang tanaman kelapa sawit. Hama dan penyakit ini dapat dilihat melalui gejala fisik yang muncul pada tanaman, apabila tidak segera dikendalikan dapat menyebabkan rendahnya perkembangan dan produktivitas tanaman kelapa sawit.
Pada perkebunan kelapa sawit terdapat hama yang menyerang tanaman kelapa sawit seperti tungau, ulat setora, nematoda, kumbang Oryctes rhinoceros dan penggerek buah.
1. Tungau
Tungau yang menyerang tanaman kelapa sawit adalah tungau merah (Oligonychus). Bagian yang diserang adalah daunnya. Tungau ini berukuran 0,5 mm, hidup di sepanjang tulang daun sambil menghisap cairan daun sehingga warna daun berubah menjadi warna kecoklatan cerah. Hama ini tumbuh dengan cepat dan berbahaya pada kondisi cuaca kering saat musim kemarau. Gangguan tungau di persemaian dapat menyebabkan kerusakan bibit. Pengendalian tungau merah ini dapat dilakukan dengan cara disemprotkan dengan akarisida yang berbahan aktif tetradione 75,2 gr/lt (Tedion 75 EC) yang disemprotkan dengan konsentrasi 0,1-0,2%.
2. Ulat api (Setora nitens)
Telur diletakkan dalam barisan 3-4 baris sejajar dengan permukaan daun bagian bawah, biasanya pada pelepah daun 16-17. Ngengat betina dapat menghasilkan 300-400 butir telur seumur hidupnya. Telur menetas setelah 4-7 hari. Telurnya rata dan berwarna kuning muda. Larva S. nitens berwarna hijau kekuningan, panjang hingga 40 mm, memiliki 2 kelompok rambut kasar di kepala dan dua di ekor. Kepompong berada di dalam kepompong yang terbuat dari air liur larva, berbentuk bulat telur dan berwarna coklat tua, terletak di permukaan tanah sekitar piringan atau di bawah pangkal batang kelapa sawit. Tahap kepompong berkisar antara 17 hingga 27 hari. Ngengat jantan berukuran 35 mm dan betina sedikit lebih besar. Sayap depan berwarna coklat dengan garis-garis yang lebih gelap. Ngengat tersebut aktif pada waktu senja dan malam hari, sedangkan pada siang hari bertengger di atas daun-daun tua atau tumpukan daun yang sudah dibuang terbalik. Ulat muda biasanya bergerombol di sekitar tempat bertelur dan menggaruk daun mulai dari permukaan bawah daun kelapa sawit dan meninggalkan kulit ari daun bagian atas. Bekas serangan terlihat jelas berupa jendela-jendela memanjang pada helaian daun, sehingga pada akhirnya daun yang terserang berat akan mati kering seperti bekas terbakar. Mulai dari instar ke-3, ulat biasanya memakan semua daun dan hanya daun batangnya saja dan sering disebut gejala melidi. Gejala ini dimulai pada daun bagian bawah. Dalam kondisi parah, tanaman akan kehilangan sekitar 90% daunnya. Pada tahun pertama setelah serangan, produksi dapat berkurang sekitar 69% dan sekitar 27% pada tahun kedua. Ambang batas ekonomis hama ulat bulu S. asigna dan S. nitens pada tanaman kelapa sawit rata-rata 5 - 10 pelepah untuk tanaman berumur tujuh tahun ke atas dan lima larva untuk tanaman yang lebih muda.
Beberapa teknik pengendalian ulat api yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut:
- Kontrol mekanis, yaitu mengumpulkan ulat atau kepompong di lapangan dan kemudian memusnahkannya.
- Pengendalian hayati, dilakukan dengan:
- penggunaan parasitoid larva seperti Trichogramma sp dan predator seperti Eocanthecona sp
- Penggunaan virus seperti Granulosis Baculovirus, MNPV (Multiple Nucleo Polyhedro Virus)
-Penggunaan jamur Bacillus thuringiensis
- Penggunaan insektisida, dilakukan dengan cara:
- Penyemprotan dilakukan pada tanaman berumur 2,5 tahun dengan cara penyemprotan manual, sedangkan tanaman berumur lebih dari 5 tahun disemprot dengan mesin penyemprot.
- Pengasapan udara dilakukan jika, dalam kondisi tertentu, area yang terkena dampak telah meluas hingga mencakup area dengan topografi yang berbeda
3. Nematoda Rhadinaphelenchus cocophilus
Hama ini menyerang akar tanaman kelapa sawit. Serangan nematoda Rhadinaphelenchus cocopilus menimbulkan gejala berupa daun muda yang akan membuka dan menggulung serta tumbuh vertikal. Selain itu, daun menguning dan kering. Tandan bunga membusuk dan tidak terbuka, sehingga tidak berbuah.
Pengendalian yang dapat dilakukan adalah meracuni tanaman yang terinfeksi dengan natrium arsenit. Untuk membasmi sumber penularan, setelah dilakukan pembongkaran dan pembakaran tanaman mati atau kering.
4. Kumbang badak Oryctes
Serangan hama ini cukup berbahaya jika terjadi pada tanaman muda, karena jika sampai pada titik tumbuh menyebabkan busuk dan menyebabkan kematian.
Pengendalian kumbang ini dilakukan dengan menjaga kebersihan taman terutama di sekitar tanaman. Sampah dan pohon mati dibakar, sehingga larva hama mati. Pengendalian hayati menggunakan jamur Metharrizium anisopliae dan virus Baculovirus oryctes.