PT memulai usaha kelapa sawit di Kotawaring Barat sekitar tahun 1994 di Kalimantan Tengah. Indo Gambut, yang kemudian dimiliki oleh beberapa perusahaan perkebunan kelapa sawit (PBS) swasta besar, mulai berekspansi ke Kotawaring Timur dan bagian lain di Kalimantan Tengah.
Pada saat itu, izin perkebunan kelapa sawit komersial diperlukan untuk mendapatkan izin persiapan lahan dari gubernur atau walikota kecuali diperlukan untuk membuka hutan, dan dasar pemberian izin lokasi untuk perusahaan kelapa sawit adalah PERDA no.5 RTRWP Kalimantan Tengah Tahun 1993. Kemudian, pada tahun 1999, dikeluarkan Surat Keputusan Gubernur Kalimantan Tengah tentang peta paduserasi yang kemudian menjadi PERDA no. Bagian izin (area izin HHPH) tidak produktif atau tidak dapat digunakan dan/atau tanahnya tidak memiliki nilai ekonomi. Kalaupun di lapangan hanya ada padang rumput, sehingga bagian bawahnya bisa dimanfaatkan untuk budidaya sawit dan Kementerian Kehutanan tidak perlu menghilangkan bagian hutannya, ditegaskan dalam PERDA No. 8 Tahun 2003, Keprihatinan 2003. RTRWP Kalteng, agar lahan bekas HPH tidak produktif atau tidak aktif di Kalteng. RTRWP Lahan Tambahan (APL) Lihat Surat Menhut 2000 dan Perda No. 8 tahun sejak 2003 Tentang RTRWP PBS Kalteng Perkembangan perkebunan kelapa sawit dan budidaya manusia di Kalteng Hingga saat ini, PBS berkembang pesat hingga tahun 2021. Laju pertumbuhan produksi kelapa sawit tertinggi di Indonesia mencapai 17,1 persen. Tidak dapat dipungkiri bahwa sektor investasi perkebunan kelapa sawit di Kalimantan Tengah memberikan kontribusi terbesar terhadap pertumbuhan ekonomi. Produk Domestik Bruto (PDB), pembayar pajak utama dan lain-lain, setiap tahun Dana Pendapatan Daerah (DBF) Kalimantan Tengah dalam APBD Kalimantan Tengah meningkat, meskipun krisis ekonomi akibat Covid 19, di sektor perkebunan kelapa sawit mampu menjadi di tengah krisis ekonomi dan pandemi kesehatan COVID-19 yang mampu memberikan kontribusi signifikan bagi perekonomian Kalimantan Tengah.
Selain itu, dari sisi penyerapan tenaga kerja, sektor perkebunan kelapa sawit memegang peranan penting karena memiliki jumlah tenaga kerja terbanyak dibandingkan sektor lain di Kalteng yang menyerap ratusan ribu tenaga kerja. Selain itu, investasi perkebunan kelapa sawit di Kalimantan Tengah membuka peluang usaha bagi para pengusaha dan pedagang lokal karena multiplier effect perkebunan kelapa sawit serta kesadaran sosial dan empati terhadap perkebunan kelapa sawit. petani di Kalteng, setiap PBS memberikan dana corporate social responsibility (CSR) untuk mendukung masyarakat petani seputar pendidikan, budaya, kesehatan, pertanian masyarakat dan lain-lain, serta pendampingan masyarakat. bencana alam seperti banjir lebih banyak menderita daripada dana CSR yang digunakan. Kalteng memiliki nilai yang besar bagi pembangunan atau pertumbuhan ekonomi Kalteng saat ini dan yang akan datang, dan kelapa sawit yang paling ditopang di Kalteng paling banyak didukung oleh kebijakan pemerintah yang mengandalkan industri air di hilir yang didukung oleh sektor lain seperti pertanian dan pertanian. Usaha perkebunan kelapa merupakan aset daerah yang strategis bagi pengembangan dan pembangunan ekonomi di Kalimantan Tengah.
Namun pada tahun 2006 terjadi keretakan antara Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah yang dipimpin oleh Agustin Teras Narang dengan Menteri Kehutanan MS Kaban. Menteri Kehutanan menilai surat tahun 2000 tidak sah dan/atau dibatalkan, dalam hal ini Keputusan Bupati RTRWP Kalteng No. 8 Tahun 2003 dan tidak ada justifikasi bagi penerbitan izin lokasi untuk kegiatan budidaya kelapa sawit. , tetapi perlu dilakukan lagi. mengacu pada Perjanjian Penggunaan Hutan (TGHK), yang artinya juga harus ada pengecualian dari Kementerian Kehutanan. Terlepas dari pergeseran sebagian Dewan Nasional melalui Kementerian Kehutanan, kelapa sawit dan perkebunan menghadapi kerugian karena banyak kelapa sawit di TGHK dikonversi menjadi hutan (HP) dan lahan hutan harus dibuka, awalnya tidak memerlukan pelepasan kawasan. Karena itu, menurut saya, ada kesenjangan antara daerah dan pusat dalam hal undang-undang dan standar hukum.
Namun, pemerintah daerah harus tunduk pada sikap pemerintah pusat untuk menyesuaikan RTRWP Kalteng dengan keinginan pemerintah pusat atau TGHK PERDA no. 5/2015 untuk RTRWP Kalteng. Kondisi ini disebabkan oleh otonomi daerah yang belum tuntas atau bisa disebut dengan otonomi sebagian. Konflik standar ini juga menimbulkan masalah bagi perkebunan kelapa sawit yang sudah beroperasi di lapangan, karena menerapkan praktik atau peraturan yang sudah ketinggalan zaman, mengubah status tempat kerja seperti HP, HPK, yang sebelumnya tidak aman dan/atau status APL 2003 RTRWP Kalteng , dan mengutip surat Menteri Kehutanan, 2000. Hal ini menimbulkan dilema yang sulit bagi PBS untuk mengimplementasikan keluaran lokasi, khususnya lokasi HP. sulit dibangun karena memerlukan penggantian tanah dan/atau penggantian dengan tanah APL atau HPK di area yang luas. Untuk lahan pengganti sendiri, reboisasi atau reboisasi kawasan pengganti ibarat jeruk minum jeruk. Kompleksitas masalah telah menimbulkan tuduhan oleh LSM atau pihak lain bahwa PBS beroperasi di lahan HP meskipun bertentangan dengan norma pusat dan daerah, dengan kelapa sawit yang tampaknya diakui sebagai deforestasi. . . . . atau deforestasi, padahal ada sektor lain yang terlibat dalam pengelolaan hutan sebelum investasi perkebunan sawit, baik legal (resmi) maupun illegal (resmi) dan illegal logging.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar